Freedom of SpeechFreedom of speech adalah kebebasan yang mengacu pada sebuah hak untuk berbicara secara bebas tanpa adanya tindakan sensor atau pembatasan akan tetapi dalam hal ini tidak termasuk dalam hal untuk menyebarkan kebencian. dapat diidentikan dengan istilah kebebasan berekspresi. kebebasan berbicara adalah salah satu dari hak asasi manusia, karena termasuk dalam hak asasi jadi hak ini bersifat mutlak dan lahir secara otomatis seiring dengan lahirnya seseorang. Setiap orang mempunyai hak untuk mengeluarkan pendapatnya masing-masing, dan hak tersebut tentu saja harus dihormati oleh orang lain. Kebebasan berbicara dapat meliputi di berbagai aspek media kehidupan, namun salah satunya, yang akan saya bahas kali ini adalah fenomena freedom of speech di media sosial terutama di Indonesia. Berdasarkan Laporan tahun 2016 ‘We Are Socio’, dari total 262 juta penduduk Indonesia, sebanyak 132,7 juta penduduk adalah pengguna internet dan dari angka tersebut 106 juta di antaranya merupakan pengguna sosial media aktif. Mayoritas pengguna media sosial tersebut mengakses media sosial melalui telepon pintar yang mereka miliki. Youtube menjadi media sosial yang paling banyak digunakan diikuti dengan Facebook, Instagram, Twitter dan Google +. Keberadaan media sosial di Indonesia menjadi alat baru untuk menyampaikan kebebasan berekspresi yang menjadi hak dasar dari warga negara yang dijamin oleh konstitusi. Hal yang menarik adalah tingginya angka pengguna media sosial di Indonesia diikuti dengan tingginya jumlah laporan polisi terkait dengan pelanggaran atas Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 (UU ITE). Berdasarkan data dari South East Asia Freedom of Expression Network (SAFENet) pada tahun 2014 tercatat sebanyak hanya 20 laporan dan tahun tahun 2015 mengalami peningkatan sebanyak 35 laporan, akan tetapi pada tahun 2016 terjadi lonjakan tajam sebanyak 177 laporan. Dari angka tersebut laporan atas pelanggaran Pasal 27 Ayat (3) UU ITE tentang pencemaran nama baik menempati urutan pertama dengan sebanyak 141 laporan diikuti dengan pelanggaran Pasal 28 ayat (2) UU ITE tentang ujaran kebencian sebanyak 23 laporan. Kemudian Media sosial Facebook mendominasi media paling tinggi yang digunakan sebagai tempat terjadinya pelanggaran sebanyak 56,5% dan diikuti dengan twitter sebanyak 12,4%. Laporan atas pelanggaran Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 28 (2) UU ITE tersebut terkait dengan pelanggaran kebebasan berekspresi. Salah satu contoh kasus yang bisa kita ambil untuk masalah ini adalah kasus Florence Sihombing. Pada kasus tersebut bermula ketika Florence hendak mengisi bahan bakar minyak (BBM) di Stasiun Pengesian Bahan Bakar Umum (SPBU) di kawasan Lempuyangan, Yogyakarta. Florence saat itu mengendarai motor, tetapi dia antre di barisan mobil, alasannya ingin mengisi Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Pertamax. Petugas SPBU menolak mengisi bensin itu ke motornya, dan Florence pun kesal. Kekesalan Florence tak habis di SPBU tersebut, dia lalu mengunggah sebuah tulisan di akun jejaring sosial Path. Postingan itulah yang dianggap sebagai hinaan kepada para warga Yogyakarta. Pengguna jejaring sosial akhirnya berarsi kreas. Beberapa diantaranya malah menghujat balik Florence. Dari kasus ini terlihat bahwa terjadi freedom of speech yang sangat bebas. Tak ada kontrol yang jelas di ungkapan kata - kata Florence. Jika kita telaah lebih lanjut untuk mendapat pelajaran, kita bisa mengambil hikmah dari kejadian ini, yaitu ketika akan membuat sebuah tulisan / pengungkapan ide harus melihat faktor sosial yang lain, seperti adakah orang yang marah ketika kita memutuskan untuk mengutarakan ide kita. Karena “Freedom of speech doesn’t mean careless talk”.
- Blogger Comment
- Facebook Comment
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
0 comments:
Post a Comment